PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pendidikan
di Indonesia
ternyata telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi
karena telah dilakukan berbagai usaha pembaharuan dalam pendidikan. Akibat
pengaruh itu pendidikan semakin mengalami kemajuan.
Sejalan dengan
kemajuan tersebut, maka dewasa ini pendidikan di sekolah-sekolah telah
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu terjadi karena
terdorong adanya pembaharuan tersebut, sehingga di dalam pengajaranpun guru
selalu ingin menemukan metode dan peralatan baru yang dapat memberikan semangat
belajar bagi semua siswa. Bahkan secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
pembaharuan dalam sistem pendidi kan
yang mencakup seluruh komponen yang ada. Pembangunan d bidang pendidikan
barulah ada artinya apabila dalam pendidiakn dapat dimanfaatkan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia
yang sedang membangun.
Pada hakekatnya
kegiatan beiajar mengajar adalah suatu proses interaksi atau hubungan timbal
balik antara guru dan siswa dalam satuan pembelajaran. Guru sebagai salah satu
komponen dalam proses belajar menganjar merupakan pemegang peran yang sangat
penting. Guru bukan hanya sekedar penyampai materi saja, tetapi lebih dari itu
guru dapat dikatakan sebagai sentral pembelajaran.
Sebagai pengatur
sekaligus pelaku dalam proses belajar mengajar, gurulah yang mengarahkan
bagaimana proses belajar mengajar itu dilaksanakan. Karena itu guru harus dapat
membuat suatu pengajaran menjadi lebeh efektif juga menarik sehingga bahan
pelajaran yang disampaikan akan membuat siswa merasa senang dan merasa perlu
untuk mempelajari bahan pelajaran tersebut.
Guru mengemban
tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam
rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa
kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan rnembangun dirinya sendiri serta
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Depdikbud (1999).
Berhasilnya tujuan
pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor di antaranya adalah faktor guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena guru secara langsung dapat
mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan siswa.
Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai tujuan pendidikan secara
maksirnal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru memiliki cara/model
mengajar yang baik dan mampu memilih model pembelajaran yang tepat dan sesuai
dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan disampaikan.
Untuk itu
diperlukan suatu upaya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran
salah satunya adalah dengan memilih strategi atau cara dalam menyampaikan
materi pelajaran agar diperoleh peningkatan prestasi belajar siswa terkhusus
pada siswa yang memiliki keterbelakangan kemampuan dalam pendengaran atau siswa
tuna rungu. Misalnya dengan membimbing
siswa untuk aktif berkomunikasi dalam proses pembelajaran dan mampu membantu
siswa memahami dan menguasai ilmu yang dipelajarinya sesuai dengan taraf
intelektualnya.
Pemahaman ini
memerlukan minat dan motivasi. Tanpa adanya minat menandakan bahwa siswa tidak
mempunyai motivasi untuk belajar. Untuk itu, guru harus memberikan suntikan
dalam bentuk motivasi sehingga dengan bantuan itu anak didik dapat keluar dari
kesulitan belajar. Sehingga kelemahan fisik tidak menjadi halangan para siswa
untuk berprestasi.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas penulis mencoba menerapkan salah satu metode pembelajaran,
yaitu metode pembelajaran penemuan (discovery) untuk mengungkapkan apakah
dengan model penemuan (discovery) dapat meningkatkan motivasi belajar dan
prestasi belajar siswa SLB tuna rungu. Penulis memilih metode pembelajaran ini
mengkondisikan siswa untuk terbiasa menemukan, mencari, mendikusikan sesuatu
yang berkaitan dengan pengajaran. Dalam metode pembelajaran penemuan
(discovery) siswa iebih aktif dalam memecahkan untuk menemukan sedang guru
berperan sebagai pembimbing atau memberikan petunjuk cara memecahkan masalah
itu.
Dari latar
belakang tersebut di atas maka penulis dalam penelitian ini mengambil judul
" Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Anak Tuna Rungu Dengan Metode
Pembelajaran Discovery Pada Siswa SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
helakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh metode
pembelajaran discovery terhadap motivasi belajar siswa tuna rungu di SLB SLB
Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
2. Bagaimanakah peningkatan prestasi
belajar siswa tuna rungu dengan diterapkannya pembelajaran discovery di SLB
Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas,
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Ingin mengetahui pengaruh motivasi
belajar siswa tuna rungu setelah diterapkan pembelajaran discovery di SLB
Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
2. Ingin mengetahui peningkatan
prestasi belajar siswa tuna rungu setelah diterapkannya pembelajaran
discovery di SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
D. Manfaat Penelitian
Penulis mengharapkan dengan hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi :
1. Guru SLB, khususnya untuk guru tuna
rungu dapat memberikan informasi tentang cara pmbelajaran yang efektif bagi
penunjang prestasi siswa didik.
2. Siswa tuna rungu, meningkatkan intensitas
berkomunikasi dan berdikusi dengan guru dan teman dengan mengembangkan fikiran
untuk meningkatkan motivasi serta prestasi belajar.
3. Sekolah, dapat memberikan masukan
bagi sekolah sebagai pedoman untuk mengambil kebijakan di sekolah tersebut.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang
lingkup dalam penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam penelitian
tindakan kelas ini adalah masalah peningkatan motivasi dan prestasi belajar
siswa tuna rungu.
2. Penelitian tindakan kelas ini
dikenakan pada siswa kelas Dasar IV-B di
SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
3. Dalam penelitian ini dilaksanakan
pada semester II tahun pelajaran 2011/2012.
4. Penelitian tindakan kelas ini
dibatasi pada kompetensi dasar menyimpulkan hasil penyelidikan tentang benda
atau gambar yang diberikan oleh guru untuk diamati.
F. Definisi Operasional
Variabel Agar
tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu
didefinisikan hal-hal sebagai berikut :
1. Metode pembelajaran penemuan
(discovery) adalah : Suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses
kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca
sendiri dan mencoba sendiri. Agar anak dapat belaiar sendiri.
2. Motivasi belajar adalah : Suatu
proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk
memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu
yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan
tertentu.
3. Prestasi belajar adalah : Hasil
belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah
siswa mengikuti pelajaran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Metode Pembelajaran Penemuan
(Discovery)
Teknik penemuan
adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund, discovery adalah proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang
dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain ialah: mengamati,
mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur
membuat kesimpulan dan sebagainya. Suatu konsep misalnya: segi tiga, panas,
demokrasi dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah.
Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami
proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Dr. J. Richard dan
asistennya mencoba self-learning siswa (belajar sendiri) itu, sehingga situasi
belajar mengajar berpindah dari situasi teacher learning menjadi situasi
student dominated learning. Dengan menggunakan discovery learning, ialah suatu
cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar
pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar
anak dapat belajar sendiri.
Penggunaan teknik
discovery ini guru berusaha meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar. Maka teknik ini memiliki keuntungan sebagai berikut:
- Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
- Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut. Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.
- Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengankernampuannya masing-masing.
- Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
- Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
Strategi itu
berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja,
membantu bila diperlukan. Walalupun demikian baiknya teknik ini toh masih ada
pula kelemahan yang perlu diperhatikan ialah :
- Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
- Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik ini akan kurang berhasil.
- Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan.
- Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
- Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif.
B. Motivasi Belajar
a. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah
daya dalarn diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu, atau
keadaan seseorang atau organisme yang menyebabkan-kesiapan kesiapannya untuk
memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan. Sedangkan motivasi adalah
suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku
untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam
diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam
mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000: 28).
Sedangkan menurut
Djamarah (2002: 114) motivasi adalah suatu pendorong yang rnengubah energi
dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan
tertentu.
Dalam proses
belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai
motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nur (2001: 3) bahwa siswa yang termotivasi
dalam belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam
mempelajari materi itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan
materi itu dengan lebih baik. Jadi motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong
seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
b. Macam-macam Motivasi
Menurut jenisnya
motivasi dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Motivasi Intrinsik
Jenis motivasi ini
timbul sebagai akibat dari dalam individu, apakah karena adanya ajakan,
suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian
akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar (Usman, 2000: 29).
Sedangkan menurut
Djamarah (2002: 115), motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif
atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri
individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Winata
(dalam Erriniati, 1994: ]05) ada beberapa strategi dalam mengaiar untuk
membangun motivasi intrins.k. Strategi tersebut adalah sebagai berikut:
-
Mengaitkan
tujuan belajar dengan tujuan siswa.
-
Memberikan
kebebasan dalam memperluas materi pelajaran sebatas yang pokok.
-
Memberikan
banyak waktu ekstra bagi siswa untuk mengerjakan tugas dan memanfaatkan surnber
belajar di sekolah.
-
Sesekali
memberikan penghargaan pada siswa atas pekerjaannya.
-
Meminta
siswa untuk menjeiaskan hasil pekerjaannya.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi yang timbul dari
dalam individu yang berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang
yang merniliki motivasi intrinsik dalam darinya maka secara sadar akan
melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya.
2) Motivasi Ekstrinsik
Jenis motivasi ini
timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan,
suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian
akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar. Misalnya seseorang mau belajar
karena ia disuruh oleh orang tuanya agar mendapat peringkat pertama di kelasnya
(Usman, 2000: 29).
Sedangkan menurut
Djamarah (2002: 117), motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi
intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi
karena adanya perangsang dari luar.
Beberapa cara
membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam menumbuhkan motivasi instrinsik antata
lain:
a. Kompetisi (persaingan) : guru
berusaha menciptakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi
belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya
dan mengatasi prestasi orang lain.
b. Pace Making (membuat tujuan
sementara atu dekat) : Pada awal kegiatan belajar mengajar guru, hendaknya terlebih
dahulu menyampaikan kepada siswa TPK yang akan dicapai sehingga dengan demikian
siswa berusaha untuk mencapai TPK tersebut.
c. Tujuan yang jelas : Motif mendorong
individu untuk mencapai tujuan. Makin jelas tujuan, makin besar nilai tujuan
bagi individu yang bersangkutan dan makin besar pula motivasi dalam melakuakan
sesuatu perbuatan.
d. Kesempurnaan untuk sukses:
Kesuksesan dapat menimbulkan rasa puas, kesenangan dan kepercayaan terhadap
diri sendiri, sedangkan kegagalan akan membawa efek yang sebaliknya. Dengan
demikian, guru hendaknya banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih
sukses dengan usaha mandiri, tentu saja dengan bimbingan guru.
e. Minat yang besar: Motif akan timbul
jika individu memiliki minat yang besar.
f. Mengadakan penilaian atau tes. Pada
umumnya semua siswa mau belajar dengan tujuan memperoleh nilai yang baik. Hal
ini terbukti dalam kenyataan bawa banyak siswa yang tidak belajar bila tidak
ada ulangan. Akan tetapi, bila guru mengatakan bahwa lusa akan diadakan ulangan
lisan, barulah siswa giat belajar dengan menghafal agar ia mendapat nilai yang
baik. Jadi, angka atau nilai itu merupakan motivasi yang kuat bagi siswa.
Dari uraian di
atas diketahui bahwa motivsi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul dari luar
individu yang berfungsinya karena adanya perangsang dari luar, misalnya adanya
persaingan, untuk mencapai nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.
C. Prestasi Belajar
Belajar dapat
membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini merupakan
pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengalaman
dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai
siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto (1991: 768),
prestasi belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dekerjakan), dalam hal
ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang
yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan
pikiran.
Berdasarkan uraian
diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan
melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan
kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan
mengadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk rnengetahui sejauh
mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Di
samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses
belajar mengajar di sekolah.
Sejalan dengan
prestasi belajar, maka dapat diartikan bahwa prestasi belajar siswa tuna rungu
adalah kemampuan siswa untuk dapat melakukan komunikasi dan mampu mengembangkan
pemikirannya setelah melibatkan secara langsung/aktif seluruh potensi yang
dimilikinya baik aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan)
dalam proses belajar mengajar.
D. Tuna Rungu
Anak tuna rungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli
Dari ketidak mampuan anak tuna rungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tuna rungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.
Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.
Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.
Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut : Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
E. Siswa
Tuna Rungu
Pada awalnya bagi orang tua yang mempunyai anak dengan
masalah gangguan pendengaran pilihan pertama untuk menyekolahkan anak adalah di
SLB, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam
membesarkan anak dengan gangguan pendengaran, termasuk memberikan pendidikan.
Tapi pada perkembangan selanjutnya banyak kasus yang membuktikan bahwa anak
dengan gangguan pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum hal ini tak lepas
dari beberapa faktor yang mendukung meningkatnya kualitas komunikasi 2 arah,
yaitu:
1. Kemajuan
teknologi alat bantu dengar yang dapat menjangkau semua tingkat gangguan
pendengaran dengan hadirnya teknologi digital, FM system dll.
2. Kemajuan
dunia medis dengan operasi kohlea.
3. Beragamnya
metode terapi yang dapat dipilih dan yang dapat disesuaikan bagi kebutuhan anak
seperti speech therapy (terapi wicara), audio verbal therapy (terapi mendengar)
dan Natural Auditory Oral (NAO) dll.
4. Banyak
pula orang tua yang berpendapat bahwa SLB adalah sarana pendidikan yang paling
baik bagi anak hal ini disebabkan oleh beratnya tingkat gangguan pendengaran
yang mempengaruhi kemampuan komunikasi hingga belum dapat berkomunikasi verbal
2 arah yang dengan baik.
Berikut ini adalah beberapa kasus jenjang pendidikan yang
diambil oleh orang tua dalam menyekolahkan anak dengan gangguan pendengaran :
1. Bersekolah
di SLB, dari awal pra sekolah, TK hingga pendidikan menengah atas (SMA)
bersekolah di SLB.
2. Bersekolah
di SLB kemudian pindah ke sekolah umum, dengan melihat perkembangan kemampuan
komunikasi 2 arah yang makin baik banyak orang tua berkeyakinan bahwa anak
dapat bersekolah di sekolah umum, biasanya hal ini dimulai selepas dari TK atau
SD.
3. Bersekolah
di sekolah umum, beberapa kasus menunjukkan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum sejak TK hingga SMA, dengan
dibantu dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak secara intensif sejak balita.
F. Hubungan Motivasi dan Prestasi Belajar Terhadap Metode
Pembelajaran Penemuan (Discovery)
Motivasi adalah
suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai
tujuan tertetntu. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan
proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa
itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik (Nur, 2001: 3).
Sedangkan prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa dengan
melibatkan seluruh pctensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan
kegiatan belajar.
Sedangkan metode
pembelajaran penemuan (discovery) adalah suatu metode pembelajaran yarg
memberikan kesempatan dan menuntut siswa terlibat secara aktif di dalam
mencapai tujuan pembelajaran dengan menberikan informasi singkat (Siadari,
2001: 7). Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan (discovery) akan
bertahan lama, mempunyai efek transfer yang lebih baik dan meningkatkan siswa
dan kemampuan berfikir secara bebas. Secara umum belajar penemuan (discovery)
ini melatih keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa
pertolongan orang lain. Selain itu, belajar penemuan membangkitkan
keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja sampai menemukan jawaban
(Syafi'udin, 2002: 19).
Dari uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya motivasi dalam
pembelajaran model penemuan (discovery) tersebut maka hasil-hasil belajar akan
menjadi optimal. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula
pelajaran itu. Dengan motivasi yang tinggi maka intensitas usaha belajar siswa
akan tinggi pula. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intesitas usaha
belajar siswa. Hasil ini akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
G. Hipotesis Tindakan
Hipotesis
tindakan dalam penelitian tindakan adalah sebagai berikut:
- Penerapan pembelajaran disvovery dapat meningkatkan motivasi belajar siswa tuna rungu di SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
- Penerapan pembelajaran discovery dapat meningkatkan prestasi belajar siswa tuna rungu di SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian
ini adalah penelitian tindakan kelas(PTK) yang bersifat reflektif,
partisipatif, kolaboratif, dan spiral, bertujuan untuk melakukan perbaikan
–perbaikan terhadap sistim, cara kerja, proses, isi, dan kompetensi atau
situasi pembelajaran. PTK yaitu suatu kegaitan menguji cobakan suatu id
eke dalam praktik atau situasi nyata dalam harapan kegiatan tersebut
mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar ( Riyanto,
2001)
B. Kehadiran Peneliti
Pada
penelitian ini, peneliti sebagai guru dan merencanakan kegiatan berikut :
1. Menyusun angket untuk pembelajaran
dan menyusun rencana program pembelajaran;
2. Mengumpulkan data dengan cara
mengamati kegiatan pembelajaran dan wawancara untuk mengetahui proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas;
3. Melaksanakan rencana program
pembelajaran yang telah dibuat; dan
4. Melaporkan hasil penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian
dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Sungai Aur Pasaman Barat yang berlokasi
di alamat Jl.lintas ujunggading- simpang empat, sungai tanang kec. Sungai Aur,
Pasaman Barat Sumatera Barat. Lokasi sekolah ini dapat dijangkau dengan
kendaraan angkutan umum, dan sekitar 100 meter di lalui dengan jalan kaki.
D. Data dan sumber
1. Data dalam penelitian ini adalah
kemampuan berfikir siswa yang diperoleh dengan mengamati munculnya pertanyaan
dan jawaban yang muncul selama diskusi berlangsung dan diklasifikasikan menjadi
C1 – C 6. Data untuk hasil penelian diperoleh berdasarkan nilai ulangan harian
(test).
2. Sumber data penelitian adalah siswa
kelas Dasar IV-B Sebagai obyek penelitian
E. Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data
pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut :
1. Wawancara.
Wawancara awal
dilakukan pada guru dan siswa untuk menentukan tindakan. Wawancara dilakukan
untuk mengetahui kondisi awal siswa.
2.
Angket.
Angket merupakan
data penunjang yang digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait dengan
respon atau tanggapan siswa terhadap penerapan pembelajaran kooperatif
3. Observasi.
Observasi
dilaksanakan untuk memperoleh data kemampuan berpikir siswa yang terdiri dari
beberapa deskriptor yang ada selama pembelajaran berlangsung. Observasi ini
dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun. Obsevasi
dilakukan oleh 3 orang observer.
4. Test.
Test dilaksanakan
setiap akhir siklus, hal ini dimaksudkan untuk mengukur hasil yang diperoleh
siswa setelah pemberian tindakan. Test tersebut berbentuk multiple choise agar
banyak materi tercakup.
5.
Catatan lapangan.
Catatan lapangan digunakan
sebagai pelengkap data penelitian sehingga diharapkan semua data yang
tidak termasuk dalam observasi dapat dikumpulkan pada penelitian ini.
F. Analisis data
1. Kemampuan Berfikir
Kualitas
pertanyaan dan jawaban siswa dianalisis dengan rubrik. Kemudian untuk
mengetahui peningkatan skor kemampuan berfikir, pertanyaan dan jawaban yang
telah dinilai dengan rubrik pada Siklus I dibandingkan dengan pertanyaan dan
jawaban yang telah dinilai dengan rubric pada Siklus II.
Rumus untuk mencari skor klasikal kemampuan
bertanya siswa
Skor
riil X
4
Skor
maks
Keterangan:
Skor riil : skor total yang diperoleh siswa.
Skor riil : skor total yang diperoleh siswa.
Skor maksimal : Skor total yang seharusnya diperoleh siswa.
4
: Skor maksimal dari tiap
jawaban
(pedoman penskoran lihat lampiran)
2.
Hasil Belajar
Hasil belajar pada
aspek kognetif dari hasil test dianalisis dengan teknik analisis evaluasi untuk
mengetahui ketuntasan belajar siswa. Caranya adalah dengan menganalisis hasil
test formatif dengan menggunakan kriteria ketuntasan belajar. Siswa dianggap
telah belajar tuntas apabila daya serapnya mencapai 65 %, Secara kelompok
dainggap tuntas jika telah belajar apabila mencapai 85 % dari jumlah siswa yang
mencapai daya serap minimal 65 % (Dedikbud 2000 dalam Aswirda 2007)
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tahap-tahap penelitian
Berdasarkan
observasi awal yang dilakukan proses pembelajaran yang dilakukan adalah model
pembelajaran kooperatif. Penelitian ini akan dilaksanakan dalam 2 siklus
. Setiap siklus tediri dari perencanaan, tindakan, penerapan tindakan,
observasi, refleksi.
1. Siklus I
a. Perencanaan
Sebelum
melaksanakan tindakan maka perlu tindakan persiapan. Kegiatan pada tahap ini
adalah :
·
Penyusunan
RPP dengan model pembelajaran yang direncanakan dalam PTK.
·
Menyiapkan
instrument-instrumen yang dibutuhkan untuk penelititan.
·
Penyusunan
lembar masalah/lembar kerja siswa sesuai dengan indikator pembelajaran yang
ingin dicapai
·
Membuat
soal test yang akan diadakan untuk mengetahui hasil pemebelajaran siswa.
·
Memberikan
penjelasan pada siswa mengenai teknik pelaksanaan model pembelajaran yang akan
dilaksanakan
b. Pelaksanaan Tindakan
·
Melaksanakan
kegiatan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Dalam
pelaksanaan penelitian guru menjadi fasilitator selama pembelajaran, siswa
dibimbing untuk belajar secara kooperatif learning dengan model diskusi. Adapun
langkah – langkah yang dilakukan adalah (sesuaikan dengan skenario
pembelajaran)
·
Kegiatan
penutup. Di akhir pelaksanaan pembelajaran pada tiap siklus, guru memberikan
test secara tertulis untuk mengevalausi hasil belajar siswa selama proses
pembelajaran berlangsung.
c. Observasi
Pengamatan
dilakukan selama proses proses pembelajaran berlangsung dan hendaknya pengamat
melakukan kolaborasi dalam pelaksanaannya.
d. Refleksi
Pada tahap ini
dilakukan analisis data yang telah diperoleh. Hasil analisis data yang telah
ada dipergunakan untuk melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil yang ingin
dicapai.
Refleksi
daimaksudkan sebagai upaya untuk mengkaji apa yang telah atau belum terjadi,
apa yang dihasilkan,kenapa hal itu terjadi dan apa yang perlu dilakukan
selanjutnya. Hasil refleksi digunakan untuk menetapkan langkah selanjutnya
dalam upaya untuk menghasilkan perbaikan pada siklus II
2. Siklus II.
Kegiatan pada
siklus dua pada dasarnya sama dengan pada siklus I hanya saja perencanaan
kegiatan mendasarkan pada hasil refleksi pada siklus I sehingga lebih mengarah
pada perbaikan pada pelaksanaan siklus I.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Anak tuna rungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli
Dari ketidak mampuan anak tuna rungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tuna rungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya motivasi dalam pembelajaran
model penemuan (discovery) tersebut maka hasil-hasil belajar akan menjadi
optimal. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula
pelajaran itu. Dengan motivasi yang tinggi maka intensitas usaha belajar siswa
akan tinggi pula. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intesitas usaha
belajar siswa. Hasil ini akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
B. Saran
- Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa tuna rungu setelah diterapkan pembelajaran discovery di SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
- Ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa tuna rungu setelah diterapkannya pembelajaran discovery di SLB Negeri Sungai Aur Pasaman Barat
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dimyati
dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan
Bahasa Anak
Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina
Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman
Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus,
Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak
Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini
Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta
![]() |